Keris Nagasasra
“Nagasasra”, itulah penamaan dari suatu bilah keris yang sangat populer di dalam masyarakat Jawa. Masyarakat mengetahuinya dengan sebutan “keris Nagasasra”. Penyebutan demikian memang tidak salah, karena orang menyebutkan suatu keris dengan penamaan dari dhapurnya. Misalnya, keris Tilamupih. Sebenamya keris itu adalah bilah yang bentuknya menggunakan penerapan dhapur Tilamupih. Demikian pula dengan sebutan keris Nagasasra. Tidak lain adalah bilah keris, yang menggunakan penerapan dhapur Nagasasra.
Mengapa Keris Nagasasra sangat poluler?
Menurut berbagai pengamat hal tersebut tidak lepas dari beberapa faktor:
A. Popularitas nama keris Nagasasra, diperkirakan karena ditopang oleh banyaknya anggota masyarakat dan generasi muda dekade tahun 1970-an, yang mengenal akan penyebutan nama keris itu. Terkenalnya nama tersebut, tidak lain karena sejak tahun 1964, SH Mintardja (Yogyakarta) telah menuliskan ceritera silat yang berjudul “NagasasraSabukinten”.
Cerita itu mengambil latar dari terjadinya persaingan kekuasaan dan intrik politik antara trah Sedalepen dan kelompok-kelompok pendukung trah Sunan Prawata yang berlangsung selama akhir pemerintahan Sultan Trenggana di Demak.
Berkat jaringan politik dan kembalinya keris Nagasasra dan Sabukinten (yang hilang dari perbendahaaraan negara karena ulah Pasingsingan dan para muridnya), akhirnya berakhir dengan suatu keadaan yang happy ending.
Cerita ini dikenal luas karena dimuat secara berseri di surat kabar harian “Kedaulatan Rakyat” (Yogyakarta), dan setelah itu diterbitkan sekitar 30 jilid.
B. Tampilan keris dengan penerapan dhapur Nagasasra, umumnya memang berhasil banyak menarik perhatian. Dibandingkan dengan pelbagai bentuk dhapur keris lainnya, keris terlihat cukup sederhana (dalam pengertian tidak terlalu banyak memiliki ragam ricikan).
Keberadaan relief naga yang badannya (pethit) memanjang ke segenap mata bilah dari bagian bawah (sor-soran) hingga ujungnya (pucukan), telah mampu memikat siapapun yang melihatnya.
Belum lagi, jika kemampuan garap-nya bagus, tampilan hias pamor-nya menarik, diperkaya dengan pelbagai ragam hias seperti lung-lungan kinatah, serta diperkuat dengan pelbagai pengayaan dengan logam mulia.
Daya pikat yang sedemikian, sering kali menyebabkan keris ber-dhapur demikian, hanya mampu bertahan sehari atau dua hari saja, jika dipajang di pasar keris (tradisional).
C. Menariknya tampilan dari keris dengan penerapan dhapur Nagasasra, menyeb abkan hampir semua empu besar sejak jaman Majapahit hingga Mataram, umumnya mem-babar bentuk dhapur tersebut. Setidaknya menciptakan keris-keris dengan variasi relief naga.
Keris yang dibuat oleh para empu terkenal, biasanya memiliki kredibilitas yang tinggi, dari kemampuan garap maupun muatan isi (yoni) yang besar. Keris-keris demikian menjadi semakin dikenal, karena umumnya diburu oleh masyarakat. Banyak keris dengan dhapur Nagasasra yang masih berada di “alam”, dan kemudian memiliki pengaruh terhadap sesuatu tern pat yang bersangkutan ( dimana keris itu berada), a tau kemudian banyak anggota masyarakat yang berusaha untuk me-nyedhot-nya.
Misalnya, keris buatan seorang empu terkenal di Mataram, yakni Ki Warihanom, hingga akhir tahun 2001, dianggap masih berada di alam. Sehingga banyak orang yang pada malam Jum ‘at Legi atau Selasa Legi yang melakukan tirakat di kompleks Kahyangan Api (alas Dhedheran) Bojanegara, 4 dengan harapan akan dapat mengambilnya. Menurut ceritera tutur, keris dibuat di tempat itu, dan pernah ditarik oleh seorang dhalang namun menolak, dan kemudian lari ke daerah Panaraga.
Demikianlah tulisan singkat saya tentang keris nagasasra, mengapa sangat terkenal. Semoga menambah informasi.